Minggu, 02 Oktober 2011

Kerusakan Teluk kendari


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Teluk Kendari tak dapat dipisahkan dengan awal keberadaan Kota Kendari yang menjadi ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara saat ini. Di teluk inilah semuanya berawal. Tradisi lisan menyebutkan, nama Kendari berasal dari bahasa Tolaki, yakni kandai (tukong), artinya alat dari bambu atau kayu yang dipergunakan untuk mendorong perahu di tempat yang airnya dangkal. Di teluk Kendari inilah aktivitas transportasi laut penduduk menggunakan alat kandai, selain menggunakan dayung dan layar. Kandai kemudian diabadikan menjadi nama kampung, kini sudah menjadi Kelurahan Kandai yang berada di awal pusat  Kota Kendari yang terletak di wilayah Kecamatan Kendari (Kota Lama). Keberadaan Teluk Kendari ditinjau dari sisi sosial sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar khususnya para nelayan yang bisa mencari ikan di area ini. Dengan luas perairan sekitar hampir 18 km2 dan panjang garis pantai hampir 86 km,  Teluk Kendari memiliki berjuta potensi yang unik untuk dikelola. Tapi itu dulu, waktu teluk belum lagi mengalami degradasi seperti sekarang. Dulu waktu teluk masih terpelihara, jangankan ikan, warga bisa mengambil hasil laut apa saja di sana lantaran kondisinya masih bagus. Banyak jenis kerang bakau dan kepiting yang selalu dicari masyarakat untuk dikonsumsi.
Sekarang teluk Kendari telah berubah fungsi. Dari tempat mencari hasil laut oleh masyarakat menjadi tempat pembuangan sampah paling besar dan fantastis. Mungkin satu-satunya di Indonesia. Jika melihat kondisi teluk ini sekarang kita akan prihatin karena telah mengalami pendangkalan yang parah.
2.      Permasalahan:
Permasalahan lingkungan yang akan di bahas adalah seputr kerusakan teluk Kendari berupa pendangkalan dan pencemaran sampah

BAB II
KERUSAKAN TELUK KENDARI
A.     Pendangkalan Teluk
Letak geografis Kota Kendari ibarat wajan - tempat penggorengan. Di tengah-tengah terdapat teluk, sementara di sisi utara, barat,  selatan terdapat ketinggian. Di sisi utara ada pegunungan Nipanipa, sementara di sisi selatan ada pegunungan Nanga-nanga. Demikian pula di sebelah barat, Mandonga  dan Wua-wua adalah pemukiman yang posisinya lebih tinggi.. Demikian pula dari sisi ketinggian di sebelah utara dan selatan teluk tentunya. Karena posisi demikianlah sehingga erosi yang terjadi dari sisi utara, barat dan selatan semuanya bermuara pada pusat teluk yang pada gilirannya menyebabkan pendakangkalan Teluk Kendari. Laju pendakalan di Teluk Kendari semakin memprihatinkan seiring pertambahan aktivitas manusia yang bermukim di sekitarnya.
Gambar 1 : Teluk Kendari
Dulu, waktu Teluk Kendari belum mengalami degradasi seperti sekarang, keberadaan ditinjau dari sisi sosial ekonomi sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar, khususnya para nelayan yang bisa mencari ikan dan biota laut lainnya. Banyak jenis kerang bakau dan kepiting yang selalu dicari masyarakat untuk dikonsumsi. Sayangnya, kondisi itu telah berubah fungsi, dari tempat mencari hasil laut oleh masyarakat menjadi tempat pembuangan sampah paling besar dan fantastis, selain erosi yang terjadi secara alamiah. Hal ini sebagai konsekensi perkembangan penduduk dan kemajuan Kota Kendari.
Hasil penelitian Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Sampara menyebutkan, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir terjadi pendangkalan di Teluk Kendari seluas 101,8 hektar dan kedalaman laut berkisar 9 meter sampai 10 meter. Luasan wilayah teluk ini menyusut dari semula 1.186,2 hektar  menjadi 1.084,4 hektar pada tahun 2000.
Gambar 2: Teluk Kendari dari atas
Sungai Wanggu yang menguasai Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 152,08 hektar merupakan penyumbang sedimentasi terbesar mencapai 357.810,59 ton/ tahun. Selain itu, menurut dokumentasi institusi teknis Dinas Kehutanan Provinsi Sultra, terdapat 10 hingga 18 sungai yang bermuara di Teluk Kendari.  Selain Sungai Wanggu, sungai lain juga ikut berkontribusi, misalnya Sungai Benubenua (DAS) 21,00 Km2, Sungai Lahundape (DAS) 16,00 Km2, Sungai Mandonga (DAS) 18,00 Km2 Sungai Sodoha (DAS) 20,00 Km2, Sungai Tipulu (DAS) 12,00 Km2 serta Sungai Wua-wua, Kemaraya, Anggoeya, dan Sungai Kampungsalo.
Sumbangsi sedimentasi juga datang dari aktivitas di dermaga yang ada dalam kawasan teluk. Sedikitnya terdapat empat dermaga pelabuhan serta satu galangan kapal pada teluk Kendari. yaitu, Pelabuhan Nusantara yang dikunjungi kapal-kapal berskala besar setiap saat, termasuk persinggahan kapal Pelni, KM Tilongkabila yang melayanai kawasan timur Pulau Sulawesi.  Ada pula Pelabuhan Ferry penyeberangan dari Kota Kendari-Pulau Wawonii, pelabuhan Perikanan Samudera dan Pelabuhan Pendaratan kapal penangkap ikan serta pangkalan kapal-kapal perikanan laut swasta. Dengan potensi sebanyak itu, perekonomian seyogyanya bisa membaik, namun Teluk Kendari tak lepas dari masalah.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Haluoleo telah memprediksi sedimentasi itu sejak tahun 2003. Mereka menyebutkan Sungai Wanggu, Kambu, dan Mandonga adalah tiga sungai menyumbang sedimentasi sekitar 1.330.281 m3/ tahun dengan laju pendangkalan 0,207 m/ tahun. Hal itu yang membuat kondisi Teluk Kendari semakin memprihatinkan. Lembaga ini juga memperkirakan dalam sepuluh tahun mendatang, kontur kedalaman 1,2 sampai 3 meter berubah menjadi daratan seluas 923,4 hektar, sehingga perairan Teluk Kendari tinggal 197,1 hektar. Lebih jauh lagi diprediksi sampai 24 tahun mendatang kontur kedalaman 1, 2, 3, 4, sampai 10 meter berubah menjadi daratan seluas 1.091,1 hektar, sehingga Teluk Kendari sisa seluas 18,8 hektar.
Gambar 3 : Pendangkalan Teluk
Aktivitas di sekitar DAS yang bermuara ke Teluk Kendari secara langsung maupun tidak langsung menjadi kontributor terbesar pendangkalan teluk. Terutama aktivitas yang tidak ramah lingkungan seperti penebangan kayu maupun anakan kayu di hutan, pertambangan pasir, serta konversi kawasan mangrove menjadi tambak maupun industri dan pertokoan. Secara kasat mata dapat disaksikan bagaimana areal mangrove yang dulu masih luas kini semakin sempit oleh berbagai jenis usaha antara lain pembukaan tambak, pembangunan galangan kapal, pembangunan SPBU dan pembangunan kawasan pertokoan.
Setiap tahun terjadi pengurangan vegetasi mangrove secara drastis. Pada tahun 1960-an luas vegetasi mangrove di sekitar Teluk Kendari mencapai 543,58 ha, tahun 1995 menurun hingga tersisa 69,8 ha, dan tahun 2005 menurun lagi hingga tersisa tinggal 40%.




B.     Teluk Kendari dan Sampah
Gambar 4: Sampah di teluk Kendari
Perkembangan penduduk dan kemajuan Kota Kendari membawa konsekwensi lain yakni kesemrawutan kota yang kian tak terkendali. Sampah berserakan di mana-mana, drainase tak berfungsi, tata kota yang semrawut dan pemerintah kelihatannya putus asa mengatasi hal ini.  Sementara itu, ada pemeo di masyarakat buat apa buang sampah jauh-jauh kalau yang dekat juga ada. Yang dekat tentu saja adalah Teluk Kendari. Pemeo yang sangat menyesatkan.
Memang bukannya tak ada upaya perbaikan sama sekali. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) telah berupaya menyelamatkan teluk ini dari kehancuran. Namun hasilnya : nol.
Ada sinyalemen beberapa kalangan bahwa percepatan pendangkalan teluk merupakan akibat dari penggundulan hutan yang ada dalam kota. Akibat penggundulan tersebut terjadilah erosi kala hujan turun dan membawa gumpalan tanah dan pasir menuju teluk. Selain itu, sampah yang bertumpuk dalam teluk juga kian memperburuk keadaan. Akibatnya bisa di duga, selain cepat mengalami pendangkalan, teluk juga menjadi pembuangan sampah oleh warga setempat yang tak mau ambil pusing dengan keadaan sekitar.
Melihat krisis Teluk ini sekarang, Pemerintah Kota Kendari mencoba satu solusi yang disarankan banyak pihak yakni pengerukan. Perencanaan sudah dibikin. Anggaran sudah disediakan. Pengerukan telah dilakukan. Tapi lagi lagi terbentur pada ketidak seriusan untuk mengembalikan Teluk Kendari ke zaman Vosmaer. Mesin pengeruk tampak menganggur seperti besi tua yang siap dikilo. Padahal mesin penghisap lumpur itu telah menelan biaya yang tidak sedikit. Dengan kata lain, Pemerintah Kota memang tampaknya tak serius melihat kerusakan teluk ini.
C.     Perhatian Pemerintah Kota Kendari Terhadap Kerusakan Teluk 
Pemerintah Provinsi Sultra tengah merancang sebuah program untuk menjadikan Teluk Kendari sebagai tempat olah raga air kelas dunia. Dinas Pekerjaan Umum (PU) Sultra ditunjuk untuk merancang program ini. Kepala Dinas PU Sultra Dody Djalante menjelaskan program ini dilakukan bersamaan dengan dibangunnya dua mega proyek pada Teluk Kendari, yakni jembatan penghubung (Kota Lama dengan Lapulu) dan masjid terapung di atas permukaan laut.
Di luar itu Pemerintah Kota Kendari mempunyai kebijakan sendiri berupa pengerukan endapan teluk dengan menyediakan anggaran sebesar Rp. 5 miliar lebih. Sayangnya hingga kini belum ada aksi memadai, padahal sudah dianggarkan sejak setahun lalu. Hal ini menambah kecurigaan pihak-pihak yang meragukan sejak awal akan program tersebut.  Pemicu bertambahnya pendangkalan karena konversi kawasan hutan mangrove menjadi lahan tambak. Selain itu, perkembangan pemukiman di sekitar teluk tidak terkontrol, serta belum adanya kejelasan tata ruang dan rencana pengembangan wilayah pesisir Teluk Kendari. Akibatnya, terjadinya tumpang tindih pemanfaatan kawasan pesisir untuk berbagai kegiatan pembangunan. Masalah lain, adanya temuan pencemaran logam berat seperti Merkuri (Hg) dan Cadmium (Cd) di sekitar Teluk Kendari dengan kadar tinggi sehingga mengganggu kelangsungan biota laut, seperti ikan dan kerang-kerangan.
Sesungguhnya perairan teluk memiliki luas sekitar 17,75 km2 dengan total panjang garis pantai kurang lebih 85,85 km, berbentuk hampir seperti segitiga. Alur sempitnya tadi berada di bagian timur, dan makin ke barat alurnya makin melebar. Pantai utara Teluk Kendari merupakan kaki Gunung Nipanipa sehingga agak terjal. Sebaliknya di bagian barat dan selatan teluk merupakan dataran rendah yang garis pantainya ditutup hutan bakau (mangrove), sehingga, kondisi perairan Teluk Kendari yang terlindung oleh penyempitan alur masuk itu, relatif tenang. Pergerakan arus bersifat lokal dan hanya sedikit dipengaruhi arus luar teluk. Arus yang bergerak dari mulut dan ke dalam teluk dan sebaliknya pada saat terjadi pasang dan surut berkecepatan sekitar 13 km/ jam.
Gelombang laut yang terjadi di kawasan Teluk Kendari umumnya bersumber dari tiupan angin di kawasan perairan teluk itu. Gelombang besar terjadi di sekitar Pulau Bungkutoko dengan ketinggian antara 1-1,5 meter pada bulan Juni-Agustus (musim timur) dan 0,5-1 meter pada periode Desember-Januari (musim barat). Gelombang besar itu berasal dari Laut Banda dan Samudra Pasifik. Sedangkan ketinggian gelombang di dalam teluk sendiri hanya berkisar rata-rata 0,3 meter di segala cuaca.
Secara geologi, pada musim hujan warna air teluk agak keruh, terutama di muara-muara sungai. Paling sedikit ada 12 sungai dan anak sungai yang bermuara di teluk, antara lain yang agak besar adalah Sungai Sadohoa, Wanggu, Kambu, dan Sungai Anggoeya. Jaringan sungai dan anak sungai tersebut puluhan tahun silam masih berfungsi sebagai sarana transportasi hingga ke pedalaman (pinggiran) kota.
Kebijakan pemerintah dan perilaku warga kota cenderung tidak memihak pada upaya pelestarian Teluk Kendari. Penggunaan lahan yang tak terkendali, baik untuk permukiman dan pertokoan maupun untuk pertanian menjadi sumber pendangkalan dan pencemaran teluk.
D.    Warga Kota dengan Teluknya
Warga kota yang berdiam di lereng gunung, baik penduduk lama maupun pendatang baru dibiarkan merambah hutan untuk lokasi perumahan dan kebutuhan hidup lainnya. Secara semena-mena juga para pemilik modal menggusur perbukitan di beberapa ruas jalan utama, masih di kaki pegunungan Nipanipa, untuk kepentingan investasi di bidang properti yaitu bisnis rumah toko (Ruko).
Tindakan tersebut merupakan salah satu penyebab pendangkalan teluk. Kerusakan hutan di pegunungan Nipanipa sehingga menyebabkan terjadinya erosi yang membawa lumpur, pasir, sampah dan limbah rumah tangga, serta berbagai material lainnya ke Teluk Kendari. Sisa-sisa lumpur dan pasir dari kegiatan penggusuran bukit juga segera dihanyutkan banjir ke teluk pada musim hujan.  Selain itu kegiatan pemerintah sendiri yang mempercepat lajunya sedimentasi adalah pembangunan jaringan jalan, terutama ruas-ruas jalan yang berlokasi di bibir pantai teluk. Pembangunan jalan tersebut di awal dengan pengerukan rawa-rawa dan empang milik penduduk. Lahan tersebut sebelumnya merupakan hutan bakau.
Sedangkan ekosistem mangrove untuk kepentingan permukiman, pertambakan, dan pembangunan prasarana jalan lebih mempercepat proses pendangkalan Teluk Kendari. Luas hutan bakau di pantai teluk pada tahun 1995 tercatat tinggal sekitar 69,85 hektar. Ini menunjukkan, kesewenang-wenangan manusia terhadap alam memang tak terbendung, sebab berdasarkan hasil penelitian tahun 1960 luas hutan bakau di teluk ini masih sekitar 543,58 hektar.
Sisa hutan bakau tersebut makin habis pula, akibat perluasan lahan tambak oleh warga kota. Kawasan sabuk hijau (green belt) pun yang berfungsi sebagai penyangga telah berangsur lenyap dan menjadi lahan tambak. Padahal sabuk hijau mutlak disediakan sebagai kawasan lindung dalam rangka mempertahankan hutan mangrove.
Jalur lain yang menjadi kontributor penyusutan Teluk Kendari menjadi daratan adalah jaringan sungai dan anak sungai yang bermuara di teluk itu. Jaringan sungai tersebut membawa lumpur, pasir, dan material lainnya ke teluk pada saat banjir di musim hujan.
Sebagian sungai di Kota Kendari telah menjadi sungai mati, dan baru berair serta banjir bila musim hujan datang. Hal itu membuktikan parahnya kerusakan hutan di daerah tangkapan hujan (catchment area) dalam ekosistem DAS (daerah aliran sungai). DAS terbesar di kawasan teluk adalah DAS Wanggu dengan luas wilayah 32.389 hektar. Wilayah DAS ini membentang dari pegunungan Boroboro, Wolasi hingga Teluk Kendari yang mencakup tiga kecamatan dalam wilayah Kabupaten Konawe serta dua kecamatan di Kota Kendari sendiri. Karena itu dibutuhkan kebijakan terpadu pemerintah kabupaten dan kota untuk memulihkan kerusakan DAS tersebut.
E.     Langkah Penyelamatan Teluk
Melihat krisis Teluk Kendari yang memprihatinkan sekarang sudah saatnya pemerintah daerah, baik Pemkot maupun Pemprov, mengambil langkah ekstrim demi penyelamatan ikon kota tersebut. Selain melakukan  pengerukan, tak kalah penting adalah penanaman kembali pohon bakau dan mangrove di sekitar teluk serta sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat tentang larangan membuang sampah di teluk ini. Jika tidak, maka jangan heran jika nama Teluk Kendari kelak tinggal menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak cucu kita.
Secara Kasat Mata, selama ini upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Kendari untuk meraih Adipura, pembersihan hanya saja dilakukan di darat. Tapi kawasan perairan seolah-olah diabaikan. Akibatnya pendangkalan teluk kendari tidak bisa teratasi lagi. Hal ini diungkapkan KEtua Walhi Sultra Suhartono, ketika di temui di Swiss Bell Hotel Kendari, Jumat (25/3).
Saat ini berdasarkan pantauanya, disepanjang Teluk Kendari tumpukan sampah sudah semakin mengunung karena dijadikan tempat pembuanagn sampah terbesar oleh masyarakat baik itu disengaja maupun tidak.
Untuk bisa meminimilasi kerusakan pendangkalan teluk, perlu adanya pertemuan antara pemerintah Provinsi, Kota, LSM DPRD, dan masyarakat, pertemuan itu diadakan duduk bersama guna membicarakan penyelesaian sampah yang siudah sangat memperihatinkan.
Kenapa harus melibatkan Pemerinta Provinsi, karena pendangkalan juga diakibatkan sampah atau lumpur kiriman dari dua kabupaten, yakni Konsel dan Konawe. Karena ini sudah mencakup dua Kabupaten, maka akan menjadi kewenangan Provinsi, "katanya.
Dikatakanya, kedua Kabupaten itu memiliki subangsih dalam proses terjadinya pendangkalan. Malkanya, itu perlu adanya pertemuan apakah itu sekali dalam sebulan atau dua bulan sekali.
Sebagai pemerhati  lingkungan, lembaga ini sangat mendukung upaya pemerintah dalam hal penenganan teluk. Hanya, pemerintah sendiri tidak ada keterbukaan dengan lembaga ini, sehingga upaya itu tidak bisa berjalan dengan baik karena adanya keterbatsan akses. Namun, hal itu tersu disuarakan lembaga tersebut.
Jika tidak ada kesadaran dari masyarakat, yang menjadi penyuplai limbah sampah rumah tangganya ke hulu. Sekarang sudah saatnya kita semua mengambil langkah ekstrim demi penyelamatan ikon kota tersebut.  Selain melanjutkan pengerukan secepatnya, kita juga melakukan  penanaman kembali pohon bakau dan mangrove di sekitar teluk serta sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat tentang larangan membuang sampah di teluk ini. Jika tidak maka jangan heran jika nama Teluk Kendari kelak tinggal menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak cucu.





2 komentar:

Sarwiati Math Wakatobi mengatakan...

Assalamualaikum, kak.... maaf sebelumnya,,,, ini kok gambarnya gk kelihatan ya?? saya lagi butuh untuk referensi tugasku.... mohon bantuannya kak.... terimakasih...

die on Ruh mengatakan...

artikelnya menarik dan cukup menyediakan data-data yang penting, sayangnya terdapat banyak informasi yang tidak disertai dengan sumber data/referensi yang memadai. contohnya, pada kalimat "hasil penelitian tahun 1960 luas hutan bakau di teluk ini masih sekitar 543,58 hektar", data ini tidak disertai informasi sumber/referensi. begitupun dengan data statistik lainnya. Sekiranya artikel ini bisa ditulis ulang dengan kutipan referensi yang sesuai, tentunya akan sangat bermanfaat bagi banyak pihak yang berkepentingan.

Posting Komentar